Catatan saya sejak bergulirnya era reformasi, ternyata
demokrasi belum menemukan jalan terbaiknya. Ketika semua orang bebas berbicara,
bebas mengeluarkan pendapat, bebas pula sewenang-wenang dalam mengutarakan
pendapatnya, bahkan cenderung anarkis.
Yang lebih parah dari demokrasi kebablasan ini adalah
bebasnya orang saling menjelekkan dan saling memfitnah. Unik dan anehnya
adalah, para elit yang memperebutkan masa untuk kemenangannya membiarkannya
begitu saja. Bahkan para ulama pemuka negeri ini hanya diam ketika fitnah
bertebaran dimana-mana, seolah-olah itu hal yang wajar dalam berdemokrasi.
Ataukah memang kehidupan moral kita, kehidupan rohani kita telah tergadaikan
oleh kepentingan demokrasi, sehingga semua orang anggap perpecahan dan
perbedaan adalah hal wajar yang harus terjadi.
Padahal fitnah dan kebencian adalah salah satu dosa besar yang tidak
mudah diampuni oleh Allah karena dampaknya yang besar.
Sejak 2014 hingga saat ini, gara-gara secuil demokrasi
orang-orang telah menjadi sakit, gila, hilang akal, menjadi jahat, sosiopat dan
antisosial. Hal ini tentu wajib dipertanyakan, kemana perginya nilai-nilai
agama yang sekarang ini justru sedang banyaknya kajian-kajian agama. Apakah
kajian-kajian agama itu hanya memperparah orang untuk saling membenci, bukan
untuk saling menjadi rahmat bagi sesamanya.
Saya miris, teman-teman yang berpendidikan dan ilmu
keagamaannya luas, justru kelihatan buta bahkan tidak punya daya nalar yang
obyektif terhadap setiap isu yang muncul. Kebencian dan permusuhan telah
menjadi ujung dari demokrasi. Kalau dikembalikan kepada nilai-nilai rohani,
kemana sebenarnya arah orang-orang yang seperti ini.
Jati Diri Yang Mulai
Hilang Namaya PANCASILA
Saya tidak pro siapapun untuk setiap demokrasi di negeri ini,
karena demokrasi adalah musyawarah untuk mufakat, walau musyawarah untuk
mufakat itu sekarang ditentukan oleh voting. Jadi voting sebenarnya adalah cara
lain dari musyawarah untuk mufakat. Setelah ada keputusan untuk memperoleh
pemimpin seharusnnya dikahiri dengan mufakat bukan dengan sakit hati dan
kebencian. Dalam hal ini negara kita, kita semua, telah meninggalkan PANCASILA
sila ke empat, Kerakyatan Yang Dipimpin
Oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan Perwakilan. Berarti
kita telah kehilangan satu dari lima jati diri kita. Kita tidak lagi memakai
hikmah dan tidak lagi memiliki kebijaksanaan.
Bila berdemokrasi telah melahirkan generasi pembenci, pemfitnah,
maka sudah tentu jati diri kita telah hilang, semua akan terpecah dalam
demokrasi dan mengakhiri sila ke Tiga, Persatuan
Indonesia. Dengan saling benci, fitnah maka kita telah kehilangan satu jati
diri PANCASILA lagi.
Tentu saja bila kita telah kehilangan dua jati diri itu kita
bukanlah manusia yang beradab, karena nilai-nilai luhur spriritualnya saja
sudah tidak ada. Mana ada orang beradab/ punya moral bisa saling benci dan
saling memfitnah. Demikianlah, berarti kita telah kehilangan Kemanusian Yang Adil dan Beradab
Bila kita sudah tidak beradab/bermoral, apakah masih sanggup
kita mengatakan bahwa kita masih memiliki Ketuhanan
Yang Maha Esa di hati kita?
Dengan hilangnya empat jati diri kita itu akibat yang sangat
kelihatan adalah telah hilangnya Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Mengapa? Karena Cuma agama/ Tuhan
yang akan membuat seseorang menjadi rahmatan lil alamain, menjadi berkat bagi
semua orang, membawa keadilan dan kedamaian di muka bumi.
Hal yang kelihatan dengan kasat mata tentulah, bagi-bagi
kekuasaan, harta, hawa nafsu, kejahatan, korupsi di tingkat para elit, dan
demoralisasi, perpecahan, kemiskinan, penindasan antar sesama di tingkat bawah.
Karena itu maka DEMOKRASI
berubah menjadi DEMOCRAZY.
Kenapa?
Karena para pelaku demokrasi telah memasuki gejala penyakit
jiwa yang dinamakan psikopat atau lebih spesifikasinya adalah sosiopat. Dan
penyakit jiwa yang dialami lainnya adalah antisosial. Marilah kita bahas dua
penyakit jiwa ini, kita wajib tahu apakah kita tergolong sosiopat dan
antisosial atau tidak.
Psikopat artinya adalah
sakit jiwa, tetapi bukan gila(skizofrenia), ciri-ciri psikopat adalah orang
yang suka memutar balik fakta, menebar fitnah dan kebohongan dengan tujuan
untuk mendapatkan kepuasan di dalam dirinya sendiri. Sekitar 15- 20 persen
penderita psikopat akhirnya bisa menjadi pembunuh, pemerkosa atau amoral dan
menjadi koruptor. Dan anehnya, pada umumnya orang yang menderita psikopat
adalah orang yang ber IQ tinggi.
Gejala-gejala psikopat
yang harus kita ketahui umunya sering berbohong, memfitnah, fasih( pandai
bicara), sangat egosentris( sulit dikalahkan dalam hal perdebatan, dan tentu
saja tidak mau mengalah walaupun salah ). Tidak memiliki rasa menyesal atau
bersalah bahkan tidak peduli pada akibat yang dia timbulkan di masyarakat.
Manipulatif dan curang. Melakukan sesuatu demi kesenangan, sehingga ketika menghasilkan
kericuhan, kegaduhan, keributan dia malah senang dan tentu tidak mau disalahkan
bila itu berlanjut kepada masalah hukum. Psikopat tidak memiliki tanggapan
fisiologis, artinya segala sesuatu dia tanggapi dingin saja, meskipun telah
buat kehebohan. Merasa paling benar, dan biasanya memanfaatkan orang lain untuk
kesenangan dirinya sendiri.
Sosiopat sebenarnya
berbeda dengan psikopat tapi memiliki ciri-ciri yang hampir sama. Sosiopat
biasanya emosinya tidak stabil, mudah marah, tapi tidak peduli atau merasa
menyesal atau merasa bersalah walaupun dia tahu dia penyebabnya. Suka berbohog,
memfitnah dan bila dikaji lebih dalam lagi ditemukan sebenarnya dia tidak punya
hati nurani. Berbeda dengan psikopat, sosiopat menunjukan emosi, suka melanggar
aturan. Dari penelitian kebanyakan sosiopat dipengaruhi dari lingkungan
hidupnya, masa lalunya, kejadian yang dialaminya seara sosial.
Sosiopat biasanya
karismatik dan menjadi magnet bagi orang-orang sekitarnya, tampil menarik dan
mengalami kecanduan seks atau perilaku seksualitasnya tinggi. Menganggap bahwa
keyakinan dia lah yang paling benar, walau terbukti salah dia tetap merasa
benar. Bersikap kesal dan tidak sabar, suka mencaci maki orang lain. Orang
sosiopat umumnya sangat ahli dalam meyakinkan orang lain dengan cara agresif.
Sangat cenderung untuk memimpin, walaupun ada pimpinan diatasnya. Sulit
menerima kritik tapi sangat mengkritik
orang lain, bahkan mungkin hanya tertawa ketika diberitahu kesalahannya atau
dituduh bersalah.
Walaupun sedikit beda
antara psikopat dan sosiopat tapi ciri-ciri umumnya hampir sama. Sehingga masih
jadi perdebatan di dunia medis tentang hal itu.*)( Diambil dar berbagai sumber )
Cek siapa saja yang
telah menjadi psikopat/ sosiopat, ujungnya adalah tindakan amoral/perzinahan,
pembunuhan, korupsi. Menjadi pembohong dan pemfitnah Cuma ciri-ciri awalnya
saja.
Bermubahalah atau
bersumpah
Karena sejak tahun 2014, penebar kebencian, pembohongan,
fitnah sudah dianggap biasa dan para ulama yang terjebak pada politik berdiam
diri tanpa mampu memperingatkan demoralisasi kehidupan berbangsa dan bernegara,
saya coba mengetes dengan menantang para pendukung demokrasi itu dengan
bersumpah atau bermubahalah.
Fitnah ke Prabowo
1.
Saat
beredar fitnah ke Prabowo bahwa dia itu China dan mau membantai orang China di
Indonesia, saya tantang orang-orang yang menyebar isu itu dengan bersumpah atau
bermubahalah....
Hasilnya....Nol
Fitnah Ke Jokowi
1.
Saat
beredar isu bahwa ibunya Jokowi kristen dan Jokowi itu PKI, saya tantang para
penyebar itu itu untuk bersumpah atau bermubahalah...
Hasilnya....Nol
2.
Saat
beredar video persekusi di car free day tanggal 29 April 2019, banyak orang
yang berkeyakinan bahwa itu hoax, fitnah, direkayasa, saya tantang bersumpah
atau bermubahalah...
Sampai saat ini hasilnya....Nol
Artinya saya menyimpulkan bahwa para pelaku yang mengatas
namakan demokrasi untuk menjatuhkan lawannya sebenarnya para psikopat atau sosiopat.
Berani melempar isu, berani menfitnah tapi saat dimintai
pertanggung jawaban tidak mau. Dibanding menerima tawaran sumpah atau
bermubahalah jawabannya adalah...Nanti
akan kami buktikan atau jawab Silahkan
selidiki sendiri kalau tidak percaya.
Kita bisa menilai mereka-mereka ini sebenarnya saat mereka
eksis di media sosial atau media massa. Saya sering tertawa ketika melihat
mereka memutar balik kata yang itu-itu saja karena tidak menerima argumen orang
lain. Sayang, masyarakat kita tidak cermat memperhatikan topik pembicaraannya
dan memutarbalikan kata-katanya.
Di media sosial demoralisasi akibat demokrasi ini sangat
memprihatinkan, bahkan sudah sangat kritis, kadang saya berfikir apakah mereka
ini tidak beragama( bermoral ) ya. Kata-kata yang terucap dengan kebencian dan
dan kata-kata yang tidak pantas biasa terlihat, terdengar. Masalahnya...para
pemuka agama juga melakukan hal yang sama, menebar kebencian. Lalu kepada siapa
kita berharap agar demoralisasi ini berhenti ?
Sebaik apapun perbuatan seseorang tetap saja dibully dan
dibenci. Ada berita positif dibully, ada berita negatif dibenci, padahal dalam
agama( semua agama ) Shalat atau berdoa itu mencegah perbuatan munkar dan keji.
Dengan membully, membenci bukankah itu perbuatan munkar dan keji? Jangan-jangan
agama cuma jadi alat untuk menutupi bahwa kita sebenarnya sedang sakit( jiwa ).
Orang sakit cenderung akan menyakiti orang lain atau membawa
orang lain menjadi sakit. Bila anda sakit flu anda mudah menularkannya kepada
orang lain yang kondisi fisiknya sedang turun, demikian juga orang egois akan membuat orang
sekitarnya menjadi egois. Berteman dengan pembohong akan jadi pembohong,
berteman dengan penjahat akan menjadi jahat bila kita terpengaruh dengannya. Pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang
baik.
Mata hati kita telah buta dan
jiwa kita mulai terserang sakit psikopat.
Bila apa yang saya uraikan diatas tentang psikopat atau
sosiopat belum meyakinkan, sebenarnya kita bisa mencari info tentang kegiatan sosial
orang tersebut melalui biografi hidupnya, latar belakangnya, kehidupan
keluarganya, pekerjaannya. Itu juga berlaku untuk kita...jangan-jangan karena pengaruh
lingkungan saat ini kita mulai menjadi sosiopat.
Jadi DEMOKRASI itu
soal apa ?
Demokrasi memiliki arti “kekuatan/kekuasaan rakyat”, dimana
semua rakyat punya hak dan kedudukan yang sama dalam berbangsa dan bernegara.
Warga negara berkontribusi langsung dalam segala aspek kehidupan bernegara.
Karena itu dikenal dengan nama Dari
Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat. Bahasa Yunani nya Demokratia.
Lawan kata dari
Demokratia adalah Aristocratie, yang artinya “ kekuasaan
elit”
Nah, sekarang kita uji, di negara demokrasi kita ini apakah
masih bisa disebut Demokrasi atau Aristokrasi ?
Dengan dibentur-benturkannya masyarakat/ rakyat secara
horisontal sehingga menimbul-kan bermacam-macam fitnah dan kebencian demi
terpilihnya para elit dan pemimpin negeri, bukankah pengendali negeri ini
adalah para elit, bukannya rakyat ? Walaupun ini negara demokrasi tapi yang
tampak adalah para aristokrat. Para aristokrat mencari kekayaan dan kekuasaan,
memanfaatkan rakyat agar saling menjatuhkan. Dimana letak dipimpin oleh hikmat kebijaksanaannya ? Yang katanya dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat.
Jadi demokrasi itu soal apa? Soal kekuasaan? Soal kekayaan ?
Atau soal rakyat ?
Dalam ilmu politik, pengertian politik adalah usaha atau
kegiatan untuk mengusahakan kesejahteraan rakyat. Nah agar usaha itu berhasil
maka diperlukanlah managemen yang baik, diperlukan pelaksana pekerjaan itu yang
bernama eksekutif. Agar bekerja
dengan baik dan manfaat kerja itu bisa dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat,
maka perlu dibuat kebijakan dan diperlukan persetujuan dari rakyat ketika
program kerja itu berjalan, maka diperlukanlah legislasi yang memberi wewenang
berdasarkan peraturan, maka dibentuklah badan legislatif. Apakah pelaksana pekerjaan itu benar atau tidak, dan
yang melegislasi itu sesuai atau tidak maka diperlukan pengawasan secara hukum,
agar bila ada pelanggaran dalam pekerjaan itu bisa ditindak, maka dibentuklah
badan yudikatif.
Jadi, bila menurut penjabaran tersebut diatas, maka nyata lah
bahwa sebenarnya di dalam demokrasi itu tidak ada bagi-bagi kekuasaan. Semua
bekerja untuk rakyat, dimandatkan oleh rakyat, dan rakyatlah yang menentukan
gajih mereka berdasarkan kekayaan negara yang diperoleh. Bukan masing-masing ingin mendapatkan gajih sendiri-sendiri dan saling
menentukan sendiri berapa bayarannya. Dalam hal ini rakyat tidak pernah
dilibatkan, padahal esksekutif,
legislatif dan yudikatif aslinya
pesuruh/ jongos rakyat lho,bukan aristrokrat yang akhirnya menekan rakyat.
Karena ini bukan negara Aristokrasi, tapi
merupakan negara Demokrasi.
Kalau sudah begini bagian rakyat apa? Kata elit demokrasi bagi rakyat itu cuma bebas mengeluarkan pendapat dan bebas demo, urusan harta kekayaan
negara, bagaimana cara membagi-baginya, siapa dapat berapa, adalah urusan para jonggos (elit ) saja, rakyat cuma
disuruh menerima apapun hasilnya.
Buktinya apa ? Para jongos
itu nyatanya lebih sejahtera dari pada rakyatnya. Padahal rakyat lah yang
menggaji para jongos itu. Bukankah
seharusnya para orang yang menerima mandat dari rakyat itu bekerja secara
profesional demi kesejahteraan rakyatnya?
Pikirkanlah, seorang petani miskin di ujung gunung, mengeluarkan pajaknya
yang cuma Rp. 50.000 per tahun untuk menggaji seorang birokrat yang gajihnya
jutaan per bulan. Petani miskin itu juga membayar pajak dari barang-barang yang
dia beli setiap harinya. Tapi apakah
para jongos itu tahu bahwa gajih
yang diterimanya berasal dari keringat seorang petani miskin ?
Kalau demokrasi hanya
soal pilih memilih pada saat pemilu, sepertinya lebih cocok kalau diganti nama
menjadi democrazy ( unjuk kegilaan, demo
= unjuk, crazy = gila )
Kalau demokrasi Cuma
melahirkan para psikopat dan para sosiopat, memang cocoknya menjadi democrazy.
Semoga hal ini bisa segera kita perbaiki bersama.
Semua ada harganya, dan harganya adalah mahal.
Tergantung para elit kita, apakah mereka mengingini
membagi-bagi kekuasaan atau berlom-ba-lomba mensejahterakan rakyatnya.
Sanggupkah mereka menyingkirkan para psikopat dan sosiopat yang ada di
lingkaran mereka, atau memang mengajak rakyat untuk menjadi psikopat juga dan
membiarkan demoralisasi terus terjadi. Sementara para pemuka agama berteriak
saja di rumah ibadah memicu kebencian dan memecah umat demi dapat jatah
kekuasaan dan uang rakyat.
Mari Kita Berpolitik !
Tanggal 18 April kami dari organisasi petani sepakat membuat
hastag :
Sebelum #2019 GANTI
POLA PIKIR siapapun Presidennya.
Karena kami tidak ingin ikut menjadi psikopat dan mengalami
demoralisasi karena masifnya fitnah-fitnah dan kebencian-kebencian.
Kami rakyat ingin berpolitik !
Kami ingin menghasilkan komoditi pangan yang berlimpah, tidak
tergantung import, membuat pupuk yang murah, mensejahterakan masyarakat,
membuat teknologi yang baik, meningkatkan taraf kehidupan, membuka peluang
pasar, ini politik . Politik
mensejahterakan sesama, membentuk korporasi, tanpa bikin partai politik, tanpa
pilih memilih wakil maupun elit pemerintah, tanpa kampanye, tanpa menggaji
jongos. Ini politik. Politik gotong royong, dari rakyat oleh rakyat dan untuk
rakyat, tanpa wakil rakyat. Kami bisa !
Kami ingin penghidupan yang layak, rumah yang layak,
pendidikan yang layak melaui usaha yang mapan, maju bersama, membangun umkm
bersama, saling ketergantungan ,kompak, tanpa nunggu pemilu atau pilkada, tanpa
partai politik,tanpa nunggu janji-janji kampanye, tapi ini politik. Politik
kebersamaan membangun bangsa.
Kalau berhasil kami tidak menggajih jongos, kalau gagal kami
akan mencoba lagi, karena kami tidak takut, kami bergotong royong, tidak
sendirian. Ini namanya politik. Politik ekonomi rakyat. Tidak perlu menunggu
orang-orang yang bersidang, tidak perlu menunggu subsidi, tidak perlu menunggu
sidak.
Rakyat sedang bangkit membangun diri sendiri tanpa perlu
ikut-ikutan bicara atau berdemo. Hari
ini kami kerja, besok kami juga kerja, mengejar kesejahteraan. Bila kami banyak
bicara pasti kami lupa kerja. Bila kami banyak berdebat kami tidak bisa kerja.
Ganti pola pikir menuju masyarakat maju yang berkeadilan
sosial adalah lebih penting daripada mengganti para jongos yang kelakuannya
tidak menghargai yang menggajinya.
Semoga kita tetap utuh dalam persatuan.
Sebuah refleksi dari
keprihatinan kepada kekuatiran tapi berharap pada kebangkitan