Entri Populer

Kamis, 03 Mei 2018

DEMOKRASI VS DEMOCRAZY




Catatan saya sejak bergulirnya era reformasi, ternyata demokrasi belum menemukan jalan terbaiknya. Ketika semua orang bebas berbicara, bebas mengeluarkan pendapat, bebas pula sewenang-wenang dalam mengutarakan pendapatnya, bahkan cenderung anarkis.
Yang lebih parah dari demokrasi kebablasan ini adalah bebasnya orang saling menjelekkan dan saling memfitnah. Unik dan anehnya adalah, para elit yang memperebutkan masa untuk kemenangannya membiarkannya begitu saja. Bahkan para ulama pemuka negeri ini hanya diam ketika fitnah bertebaran dimana-mana, seolah-olah itu hal yang wajar dalam berdemokrasi. Ataukah memang kehidupan moral kita, kehidupan rohani kita telah tergadaikan oleh kepentingan demokrasi, sehingga semua orang anggap perpecahan dan perbedaan adalah hal wajar yang harus terjadi.  Padahal fitnah dan kebencian adalah salah satu dosa besar yang tidak mudah diampuni oleh Allah karena dampaknya yang besar.
Sejak 2014 hingga saat ini, gara-gara secuil demokrasi orang-orang telah menjadi sakit, gila, hilang akal, menjadi jahat, sosiopat dan antisosial. Hal ini tentu wajib dipertanyakan, kemana perginya nilai-nilai agama yang sekarang ini justru sedang banyaknya kajian-kajian agama. Apakah kajian-kajian agama itu hanya memperparah orang untuk saling membenci, bukan untuk saling menjadi rahmat bagi sesamanya.
Saya miris, teman-teman yang berpendidikan dan ilmu keagamaannya luas, justru kelihatan buta bahkan tidak punya daya nalar yang obyektif terhadap setiap isu yang muncul. Kebencian dan permusuhan telah menjadi ujung dari demokrasi. Kalau dikembalikan kepada nilai-nilai rohani, kemana sebenarnya arah orang-orang yang seperti ini.
Jati Diri Yang Mulai Hilang Namaya PANCASILA
Saya tidak pro siapapun untuk setiap demokrasi di negeri ini, karena demokrasi adalah musyawarah untuk mufakat, walau musyawarah untuk mufakat itu sekarang ditentukan oleh voting. Jadi voting sebenarnya adalah cara lain dari musyawarah untuk mufakat. Setelah ada keputusan untuk memperoleh pemimpin seharusnnya dikahiri dengan mufakat bukan dengan sakit hati dan kebencian. Dalam hal ini negara kita, kita semua, telah meninggalkan PANCASILA sila ke empat, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan Perwakilan. Berarti kita telah kehilangan satu dari lima jati diri kita. Kita tidak lagi memakai hikmah dan tidak lagi memiliki kebijaksanaan.
Bila berdemokrasi telah melahirkan generasi pembenci, pemfitnah, maka sudah tentu jati diri kita telah hilang, semua akan terpecah dalam demokrasi dan mengakhiri sila ke Tiga, Persatuan Indonesia. Dengan saling benci, fitnah maka kita telah kehilangan satu jati diri PANCASILA lagi.
Tentu saja bila kita telah kehilangan dua jati diri itu kita bukanlah manusia yang beradab, karena nilai-nilai luhur spriritualnya saja sudah tidak ada. Mana ada orang beradab/ punya moral bisa saling benci dan saling memfitnah. Demikianlah, berarti kita telah kehilangan Kemanusian Yang Adil dan Beradab
Bila kita sudah tidak beradab/bermoral, apakah masih sanggup kita mengatakan bahwa kita masih memiliki Ketuhanan Yang Maha Esa di hati kita?
Dengan hilangnya empat jati diri kita itu akibat yang sangat kelihatan adalah telah hilangnya Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Mengapa? Karena Cuma agama/ Tuhan yang akan membuat seseorang menjadi rahmatan lil alamain, menjadi berkat bagi semua orang, membawa keadilan dan kedamaian di muka bumi.
Hal yang kelihatan dengan kasat mata tentulah, bagi-bagi kekuasaan, harta, hawa nafsu, kejahatan, korupsi di tingkat para elit, dan demoralisasi, perpecahan, kemiskinan, penindasan antar sesama di tingkat bawah.
Karena itu maka DEMOKRASI berubah menjadi DEMOCRAZY.
Kenapa?
Karena para pelaku demokrasi telah memasuki gejala penyakit jiwa yang dinamakan psikopat atau lebih spesifikasinya adalah sosiopat. Dan penyakit jiwa yang dialami lainnya adalah antisosial. Marilah kita bahas dua penyakit jiwa ini, kita wajib tahu apakah kita tergolong sosiopat dan antisosial atau tidak.
Psikopat artinya adalah sakit jiwa, tetapi bukan gila(skizofrenia), ciri-ciri psikopat adalah orang yang suka memutar balik fakta, menebar fitnah dan kebohongan dengan tujuan untuk mendapatkan kepuasan di dalam dirinya sendiri. Sekitar 15- 20 persen penderita psikopat akhirnya bisa menjadi pembunuh, pemerkosa atau amoral dan menjadi koruptor. Dan anehnya, pada umumnya orang yang menderita psikopat adalah orang yang ber IQ tinggi.
Gejala-gejala psikopat yang harus kita ketahui umunya sering berbohong, memfitnah, fasih( pandai bicara), sangat egosentris( sulit dikalahkan dalam hal perdebatan, dan tentu saja tidak mau mengalah walaupun salah ). Tidak memiliki rasa menyesal atau bersalah bahkan tidak peduli pada akibat yang dia timbulkan di masyarakat. Manipulatif dan curang. Melakukan sesuatu demi kesenangan, sehingga ketika menghasilkan kericuhan, kegaduhan, keributan dia malah senang dan tentu tidak mau disalahkan bila itu berlanjut kepada masalah hukum. Psikopat tidak memiliki tanggapan fisiologis, artinya segala sesuatu dia tanggapi dingin saja, meskipun telah buat kehebohan. Merasa paling benar, dan biasanya memanfaatkan orang lain untuk kesenangan dirinya sendiri.
Sosiopat sebenarnya berbeda dengan psikopat tapi memiliki ciri-ciri yang hampir sama. Sosiopat biasanya emosinya tidak stabil, mudah marah, tapi tidak peduli atau merasa menyesal atau merasa bersalah walaupun dia tahu dia penyebabnya. Suka berbohog, memfitnah dan bila dikaji lebih dalam lagi ditemukan sebenarnya dia tidak punya hati nurani. Berbeda dengan psikopat, sosiopat menunjukan emosi, suka melanggar aturan. Dari penelitian kebanyakan sosiopat dipengaruhi dari lingkungan hidupnya, masa lalunya, kejadian yang dialaminya seara sosial.
Sosiopat biasanya karismatik dan menjadi magnet bagi orang-orang sekitarnya, tampil menarik dan mengalami kecanduan seks atau perilaku seksualitasnya tinggi. Menganggap bahwa keyakinan dia lah yang paling benar, walau terbukti salah dia tetap merasa benar. Bersikap kesal dan tidak sabar, suka mencaci maki orang lain. Orang sosiopat umumnya sangat ahli dalam meyakinkan orang lain dengan cara agresif. Sangat cenderung untuk memimpin, walaupun ada pimpinan diatasnya. Sulit menerima kritik  tapi sangat mengkritik orang lain, bahkan mungkin hanya tertawa ketika diberitahu kesalahannya atau dituduh bersalah.
Walaupun sedikit beda antara psikopat dan sosiopat tapi ciri-ciri umumnya hampir sama. Sehingga masih jadi perdebatan di dunia medis tentang hal itu.*)( Diambil dar berbagai sumber )
Cek siapa saja yang telah menjadi psikopat/ sosiopat, ujungnya adalah tindakan amoral/perzinahan, pembunuhan, korupsi. Menjadi pembohong dan pemfitnah Cuma ciri-ciri awalnya saja.

Bermubahalah atau bersumpah
Karena sejak tahun 2014, penebar kebencian, pembohongan, fitnah sudah dianggap biasa dan para ulama yang terjebak pada politik berdiam diri tanpa mampu memperingatkan demoralisasi kehidupan berbangsa dan bernegara, saya coba mengetes dengan menantang para pendukung demokrasi itu dengan bersumpah atau bermubahalah.
Fitnah ke Prabowo
1.      Saat beredar fitnah ke Prabowo bahwa dia itu China dan mau membantai orang China di Indonesia, saya tantang orang-orang yang menyebar isu itu dengan bersumpah atau bermubahalah....
Hasilnya....Nol
Fitnah Ke Jokowi
1.      Saat beredar isu bahwa ibunya Jokowi kristen dan Jokowi itu PKI, saya tantang para penyebar itu itu untuk bersumpah atau bermubahalah...
Hasilnya....Nol
2.      Saat beredar video persekusi di car free day tanggal 29 April 2019, banyak orang yang berkeyakinan bahwa itu hoax, fitnah, direkayasa, saya tantang bersumpah atau bermubahalah...
Sampai saat ini hasilnya....Nol
Artinya saya menyimpulkan bahwa para pelaku yang mengatas namakan demokrasi untuk menjatuhkan lawannya sebenarnya para psikopat atau sosiopat.
Berani melempar isu, berani menfitnah tapi saat dimintai pertanggung jawaban tidak mau. Dibanding menerima tawaran sumpah atau bermubahalah jawabannya adalah...Nanti akan kami buktikan atau jawab Silahkan selidiki sendiri kalau tidak percaya.
Kita bisa menilai mereka-mereka ini sebenarnya saat mereka eksis di media sosial atau media massa. Saya sering tertawa ketika melihat mereka memutar balik kata yang itu-itu saja karena tidak menerima argumen orang lain. Sayang, masyarakat kita tidak cermat memperhatikan topik pembicaraannya dan memutarbalikan kata-katanya.
Di media sosial demoralisasi akibat demokrasi ini sangat memprihatinkan, bahkan sudah sangat kritis, kadang saya berfikir apakah mereka ini tidak beragama( bermoral ) ya. Kata-kata yang terucap dengan kebencian dan dan kata-kata yang tidak pantas biasa terlihat, terdengar. Masalahnya...para pemuka agama juga melakukan hal yang sama, menebar kebencian. Lalu kepada siapa kita berharap agar demoralisasi ini berhenti ?
Sebaik apapun perbuatan seseorang tetap saja dibully dan dibenci. Ada berita positif dibully, ada berita negatif dibenci, padahal dalam agama( semua agama ) Shalat atau berdoa itu mencegah perbuatan munkar dan keji. Dengan membully, membenci bukankah itu perbuatan munkar dan keji? Jangan-jangan agama cuma jadi alat untuk menutupi bahwa kita sebenarnya sedang sakit( jiwa ).
Orang sakit cenderung akan menyakiti orang lain atau membawa orang lain menjadi sakit. Bila anda sakit flu anda mudah menularkannya kepada orang lain yang kondisi fisiknya sedang turun, demikian  juga orang egois akan membuat orang sekitarnya menjadi egois. Berteman dengan pembohong akan jadi pembohong, berteman dengan penjahat akan menjadi jahat bila kita terpengaruh dengannya. Pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik.
Mata hati kita telah buta dan  jiwa kita mulai terserang sakit psikopat.
Bila apa yang saya uraikan diatas tentang psikopat atau sosiopat belum meyakinkan, sebenarnya kita bisa mencari info tentang kegiatan sosial orang tersebut melalui biografi hidupnya, latar belakangnya, kehidupan keluarganya, pekerjaannya. Itu juga berlaku untuk kita...jangan-jangan karena pengaruh lingkungan saat ini kita mulai menjadi sosiopat.

Jadi DEMOKRASI itu soal  apa ?
Demokrasi memiliki arti “kekuatan/kekuasaan rakyat”, dimana semua rakyat punya hak dan kedudukan yang sama dalam berbangsa dan bernegara. Warga negara berkontribusi langsung dalam segala aspek kehidupan bernegara. Karena itu dikenal dengan nama Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat.  Bahasa Yunani nya Demokratia.
Lawan kata dari Demokratia  adalah Aristocratie, yang artinya “ kekuasaan elit”
Nah, sekarang kita uji, di negara demokrasi kita ini apakah masih bisa disebut Demokrasi atau Aristokrasi ?
Dengan dibentur-benturkannya masyarakat/ rakyat secara horisontal sehingga menimbul-kan bermacam-macam fitnah dan kebencian demi terpilihnya para elit dan pemimpin negeri, bukankah pengendali negeri ini adalah para elit, bukannya rakyat ? Walaupun ini negara demokrasi tapi yang tampak adalah para aristokrat. Para aristokrat mencari kekayaan dan kekuasaan, memanfaatkan rakyat agar saling menjatuhkan. Dimana letak dipimpin oleh hikmat kebijaksanaannya ? Yang katanya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Jadi demokrasi itu soal apa? Soal kekuasaan? Soal kekayaan ? Atau soal rakyat ?
Dalam ilmu politik, pengertian politik adalah usaha atau kegiatan untuk mengusahakan kesejahteraan rakyat. Nah agar usaha itu berhasil maka diperlukanlah managemen yang baik, diperlukan pelaksana pekerjaan itu yang bernama eksekutif. Agar bekerja dengan baik dan manfaat kerja itu bisa dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat, maka perlu dibuat kebijakan dan diperlukan persetujuan dari rakyat ketika program kerja itu berjalan, maka diperlukanlah legislasi yang memberi wewenang berdasarkan peraturan, maka dibentuklah badan legislatif. Apakah pelaksana pekerjaan itu benar atau tidak, dan yang melegislasi itu sesuai atau tidak maka diperlukan pengawasan secara hukum, agar bila ada pelanggaran dalam pekerjaan itu bisa ditindak, maka dibentuklah badan yudikatif.
Jadi, bila menurut penjabaran tersebut diatas, maka nyata lah bahwa sebenarnya di dalam demokrasi itu tidak ada bagi-bagi kekuasaan. Semua bekerja untuk rakyat, dimandatkan oleh rakyat, dan rakyatlah yang menentukan gajih mereka berdasarkan kekayaan negara yang diperoleh. Bukan masing-masing ingin mendapatkan gajih sendiri-sendiri dan saling menentukan sendiri berapa bayarannya. Dalam hal ini rakyat tidak pernah dilibatkan, padahal esksekutif, legislatif dan yudikatif aslinya pesuruh/ jongos rakyat lho,bukan aristrokrat yang akhirnya menekan rakyat. Karena ini bukan negara Aristokrasi, tapi merupakan negara Demokrasi.
Kalau sudah begini bagian rakyat apa?  Kata elit demokrasi bagi rakyat itu cuma bebas mengeluarkan pendapat dan bebas demo, urusan harta kekayaan negara, bagaimana cara membagi-baginya, siapa dapat berapa, adalah urusan para jonggos (elit ) saja, rakyat cuma disuruh menerima apapun hasilnya.
Buktinya apa ? Para jongos itu nyatanya lebih sejahtera dari pada rakyatnya. Padahal rakyat lah yang menggaji para jongos itu. Bukankah seharusnya para orang yang menerima mandat dari rakyat itu bekerja secara profesional demi kesejahteraan rakyatnya?  Pikirkanlah, seorang petani miskin di ujung gunung, mengeluarkan pajaknya yang cuma Rp. 50.000 per tahun untuk menggaji seorang birokrat yang gajihnya jutaan per bulan. Petani miskin itu juga membayar pajak dari barang-barang yang dia beli setiap harinya.  Tapi apakah para jongos itu tahu bahwa gajih yang diterimanya berasal dari keringat seorang petani miskin ?
Kalau demokrasi hanya soal pilih memilih pada saat pemilu, sepertinya lebih cocok kalau diganti nama menjadi democrazy ( unjuk kegilaan, demo = unjuk, crazy = gila )
Kalau demokrasi Cuma melahirkan para psikopat dan para sosiopat, memang cocoknya menjadi democrazy.
Semoga hal ini bisa segera kita perbaiki bersama.
Semua ada harganya, dan harganya adalah mahal.
Tergantung para elit kita, apakah mereka mengingini membagi-bagi kekuasaan atau berlom-ba-lomba mensejahterakan rakyatnya. Sanggupkah mereka menyingkirkan para psikopat dan sosiopat yang ada di lingkaran mereka, atau memang mengajak rakyat untuk menjadi psikopat juga dan membiarkan demoralisasi terus terjadi. Sementara para pemuka agama berteriak saja di rumah ibadah memicu kebencian dan memecah umat demi dapat jatah kekuasaan dan uang rakyat.

Mari Kita Berpolitik !
Tanggal 18 April kami dari organisasi petani sepakat membuat hastag :
Sebelum #2019 GANTI POLA PIKIR siapapun Presidennya.
Karena kami tidak ingin ikut menjadi psikopat dan mengalami demoralisasi karena masifnya fitnah-fitnah dan kebencian-kebencian.
Kami rakyat ingin berpolitik !
Kami ingin menghasilkan komoditi pangan yang berlimpah, tidak tergantung import, membuat pupuk yang murah, mensejahterakan masyarakat, membuat teknologi yang baik, meningkatkan taraf kehidupan, membuka peluang pasar, ini politik . Politik mensejahterakan sesama, membentuk korporasi, tanpa bikin partai politik, tanpa pilih memilih wakil maupun elit pemerintah, tanpa kampanye, tanpa menggaji jongos. Ini politik. Politik gotong royong, dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, tanpa wakil rakyat. Kami bisa !
Kami ingin penghidupan yang layak, rumah yang layak, pendidikan yang layak melaui usaha yang mapan, maju bersama, membangun umkm bersama, saling ketergantungan ,kompak, tanpa nunggu pemilu atau pilkada, tanpa partai politik,tanpa nunggu janji-janji kampanye, tapi ini politik. Politik kebersamaan membangun bangsa.
Kalau berhasil kami tidak menggajih jongos, kalau gagal kami akan mencoba lagi, karena kami tidak takut, kami bergotong royong, tidak sendirian. Ini namanya politik. Politik ekonomi rakyat. Tidak perlu menunggu orang-orang yang bersidang, tidak perlu menunggu subsidi, tidak perlu menunggu sidak.
Rakyat sedang bangkit membangun diri sendiri tanpa perlu ikut-ikutan bicara atau berdemo.  Hari ini kami kerja, besok kami juga kerja, mengejar kesejahteraan. Bila kami banyak bicara pasti kami lupa kerja. Bila kami banyak berdebat kami tidak bisa kerja.
Ganti pola pikir menuju masyarakat maju yang berkeadilan sosial adalah lebih penting daripada mengganti para jongos yang kelakuannya tidak menghargai yang menggajinya.
Semoga kita tetap utuh dalam persatuan.

Sebuah refleksi dari keprihatinan kepada kekuatiran tapi berharap pada kebangkitan